Monday, August 31, 2009

BAHTSUL MASA’IL

Hukum “Pedekate” dengan Facebook dan Alat Komunikasi Lainnya


Berikut ini adalah salah satu hasil bahtsul masail diniyyah atau pembahasan masalah keagamaan oleh Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3) se-Jawa Timur di Pondok Pesantren Putri Hidayatul Mubtadiat Lirboyo Kediri 20-21 Mei 2009 lalu. Beberapa media massa sempat memberitakan bahwa forum ini mengharamkan Facebook, sebuah jaringan komunikasi dunia maya. Ternyata tidak sesederhana itu. ***(Teks Arab tidak disertakan. Redaksi)

Dewasa ini, perubahan yang paling ngetop dengan terciptanya fasilitas komunikasi ini adalah tren hubungan muda-mudi (ajnabi) via HP yang begitu akrab, dekat dan bahkan over intim. Dengan fasilitas audio call, video call, SMS, 3G, Chatting, Friendster, facebook, dan lain-lain. Jarak ruang dan waktu yang tadinya menjadi rintangan terjalinnya keakraban dan kedekatan hubungan lawan jenis nyaris hilang dengan hubungan via HP.

Lebih dari itu, nilai kesopanan dan keluguan seseorang bahkan ketabuan sekalipun akan sangat mudah ditawar menjadi suasana fair dan vulgar tanpa batas dalam hubungan ini. Tren hubungan via HP ini barangkali dimanfaatkan sebagai media menjalin hubungan lawan jenis untuk sekedar "main-main" atau justru lebih ekstrim dari itu. Sedangkan bagi mereka yang sudah mengidap "syndrome usia," hubungan lawan jenis via HP sangat efektif untuk dimanfaatkan sebagai media PDKT (pendekatan) untuk menjajaki atau mengenali karakteristik kepribadian seseorang yang dihasrati yang pada gilirannya akan ia pilih sebagai pasangan hidup atau hanya berhenti pada hubungan sahabat.

Pertanyaan pertama:

Bagaimana hukum PDKT via HP (telpon, SMS, 3G, chatting, friendster, facebook, dan lain-lain) dengan lawan jenis dalam rangka mencari jodoh yang paling ideal atau untuk penjajakan dan pengenalan lebih intim tentang karakteristik kepribadian seseorang yang diminati untuk dijadikan pasangan hidup, baik sebelum atau pasca khitbah (pertunangan)?

Jawaban:

Komunikasi via HP pada dasarnya sama dengan komunikasi secara langsung. Hukum komunikasi dengan lawan jenis tidak diperbolehkan kecuali ada hajat seperti dalam rangka khitbah, muamalah, dan lain sebagainya.

Mengenai pengenalan karakter dan penjajakan lebih jauh terhadap lawan jenis seperti dalam deskipsi tidak dapat dikategorikan hajat karena belum ada ‘azm (keinginan kuat untuk menikahi orang tertentu). Sedang hubungan via 3G juga tidak diperbolehkan bila menimbulkan syahwat atau fitnah.

(Kitab-kitab rujukan: Bariqah Mahmudiyyah vol. IV hal. 7, Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah vol. I hal. 12763, Ihya ‘Ulumiddin vol. III hal. 99, Hasyiyah al-Jamal vol. IV hal. 120, Is’adur Rafiq vol. II hal. 105, Al-Fiqhul Islamy vol. IX hal. 6292, I’anatut Thalibin vol. III hal. 301, Qulyuby ‘Umairah vol. III hal. 209, I’anatut Thalibin vol. III hal. 260, Al-Fatawi al-Fiqhiyyah al-Kubra vol. I hal. 203, Tausyih ‘ala ibn Qosim hal.197)

Pertanyaan kedua:

Mempertimbangkan ekses negatif yang ditimbulkan, kontak via HP (telpon, SMS, 3G, chatting, Friendster, facebook, dan lain-lain) dengan ajnaby (bukan muhrim), bisakah dikategorikan atau semakna dengan khalwah (mojok) jika dilakukan di tempat-tempat tertutup?

Jawaban:

Kontak via HP sebagaimana dalam deskripsi di atas yang dapat menimbulkan syahwat atau fitnah tidak dapat dikategorikan khalwah namun hukumnya haram.

(Beberapa kitab yang dirujuk: Hasyiyah Al-Jamal vol. IV hal. 125, Al-Qamus al-Fiqhy vol. I hal. 122, Bughyatul Mustarsyidin hal. 200, Asnal Mathalib vol. IV hal. 179, Al-Mausu’atul Fiqhiyyah vol. IXX hal. 267, Hasyiyah Al-Jamal vol. IV hal. 467, Al-Fatawi al-Fiqhiyyah al-Kubra vol. IV hal. 107-107, Hasyiyah Jamal vol. IV hal. 121, Is’adur Rafiq vol. II hal. 93, dan Hasyiyah Al-Jamal vol. IV hal. 121 I’anatut Thalibin vol. III hal. 301, Qulyuby ‘Umairah vol. III hal. 209)

( Di Ambil dari NU ONLINE )

Kang Said: Aswaja Tak Mengenal Terorisme


Sabtu, 8 November 2008 05:31

Jakarta, NU Online
Ahlussunnah wal jamaah (Aswaja) sebagai paham dan ajaran keislaman yang dianut oleh organisasi NU mengajarkan umat untuk berlaku toleran dan meninggalkan cara-cara kekerasan dalam menyelesaikan persoalan.

“Ahlussunnah tidak mengenal kekerasan dan terorisme. Kita ini adalah umat yang modern, yang penuh toleran, dan moderat, agar menjadi contoh bagi umat yang lain,” katanya dalam acara silaturrahim IPPNU dengan Ibu Negara Ani Yudhoyono di Istana Negara, Jakarta, Jum’at (7/11).

Dikatakan Kang Said, panggilan akrab KH Said Aqil Siradj, para ulama yang yang tergabung dalam NU berjuang membela tanah air sebagai bagian dari tugas agama. Maka tugas membangun Indonesia adalah tugas agama.

“Dulu ulama yang bersarung bercita-cita mendirikan negara darus salam (negara yang menyejahterakan), negara Indonesia, bukan darul Islam (negara Islam). Pada tanggal 22 oktober 1945 dikeluarkanlah fatwa Resolusi Jihad, bahwa membela tanah air sama dengan membela agama,” kata Kang Said.

Acara silaturrahim dengan Ibu negara yang dihadiri Kang Said itu merupakan bagian dari agenda Halaqoh Pelajar dan Kenferensi Besar (Konbes) IPPNU yang diadakan di Jakarta selama empat hari, 6-9 November 2008. (nam)

Masdar: Terorisme Wujud Kekerasan Primitif


Selasa, 18 Agustus 2009 15:05

Jakarta, NU Online
Ketua PBNU Masdar F Mas’udi berpendapat terorisme merupakan wujud dari kekerasan primitif yang telanjang. Mereka mencoba menaklukkan orang dengan cara kekerasan. Padahal menaklukkan secara fisik itu sangat dangkal.

“Umat Islam sudah tak zamannya lagi menggunakan pendekatan primitif seperti itu,” katanya, Senin (17/8).

Ia juga tidak setuju dengan cara-cara pemerintah dalam melakukan penanganan para teroris yang mengutamakan pendekatan kekerasan karena pendekatan seperti ini sudah kedaluwarga.

“Perang pada intinya kan menaklukkan orang. Cara yang paling canggih dan efektif adalah dengan kelembutan dan perilaku yang anggun,” tandasnya.

Karena itu, perlu merubah paradigma dalam menaklukkan orang. Penaklukan yang paling elegan adalah dengan soft war dan itu lebih beradab.

Mengenai permintaan agar masyarakat waspada pada pria bersorban, bergamis dan berjenggot panjang seperti yang dilontarkan Pangdam IV Diponegoro Mayjen Haryadi, Masdar meminta hal ini tidak digeneralisir ke semua kelompok.
“Mungkin karena atribut semacam itu (bersurban, berjubah, berjenggot) biasa dipakai kelompok-kelompok radikal, maka-nya akhirnya dilekatkan. Pernyataan Pak Haryadi bukan tanpa dasar, karena asosiasinya mungkin kepada guru Noordin M Top, yaitu Abu Bakar Ba'asyir dan Pak Sungkar. Itu versi pihak Amerika Serikat,” imbuhnya.

Menurutnya, seseorang memakai jenggot karena dua faktor, genetik dan ideologis. Secara ideologis dalam artian bukan sunnah rasul. Melainkan memang sengaja dipanjangkan karena keyakinan bisa digunakan untuk menakut-nakuti orang lain.

“Dalam situasi perang dulu, kalau orang berjenggot apalagi jenggot yang tebal seperti milik orang Arab itu kan memang serem. Bermanfaat untuk menggertak musuh dan menjadi bagian dari psy war. Tapi kalau jenggot orang Indonesia yang cuma lima biji kan malah bikin ketawa musuh,” tandasnya. (mad)